Wong Jawa kok ra Njawani? belum bangga kah dengan kayanya budaya leluhur kita?
Remaja Jawa Tengah mulai menggunakan Gue-Elu agar vibesnya lebih skena abis.
Generasi Z di daerah, terutama di Jawa Tengah, sepertinya sedang mengalami transformasi dalam gaya berkomunikasi mereka. Tradisi berbicara dengan menggunakan dialek atau logat daerah tampaknya mulai tergeser oleh bahasa gaul Jakarta, khususnya dalam penggunaan kata “Gue-Elu.”
Pertanyaannya kemudian muncul, mengapa anak muda Jawa Tengah mulai beralih ke Gue-Elu, gaya bahasa yang umumnya terkait dengan kaum muda Jakarta? Apakah ini merupakan suatu bentuk identitas baru ataukah hanya sekadar tren yang diikuti? Sementara beberapa orang mungkin menganggapnya sebagai transformasi positif yang mengikuti perkembangan zaman, yang lain mungkin merasa khawatir bahwa ini adalah tanda bahwa budaya lokal mulai terkikis.
Paksel ‘Ngapak Jaksel’ atau menungsa-menungsa yang ngomong lu-gue tapi logat ngapak esih buket banget kayak boled.
Baru saja saya melihat video itu. Seorang Content Creator asal Purwokerto yang menceritakan tentang pengalamannya bersama teman di Coffee Shop. Dia menceritakan bahwa di Coffee Shop tersebut terdapat banyak kumpulan ‘agapur’ anak gaul purwokerto yang salah satunya menggunakan bahasa paksel atau ngapak jaksel. “lu aja kayak kue ege” salah satu kalimat paksel yang dilontarkan oleh salah satu pengunjung Coffee shop yang tidak sengaja didengar.
Mendengar cerita tersebut saya merasa terhibur tapi terdapat perasaan cukup miris. Miris, karena pemuda-pemudi Purwokerto mulai mengikuti gaya komunikasi anak Jakarta dan merasa bahwa menggunakan lo-gue adalah hal yang membuat mereka menjadi terlihat keren. Sehingga bahasa daerah mulai tersisihkan. Ngakak, karena mendengar logat jawa bahkan logat ngapak menggunakan gue-lo untuk berkomunikasi.
Terdapat istilah selain paksel, yaitu Jawakarta dimana seseorang menggunakan bahasa jawa dan bahasa jakarta ataupun bahasa indonesia yang umum dalam satu situasi. Tidak jauh dengan penggunanaan paksel, biasanya jawakarta ini mencangkup seluruh wilayah jawa tengah hingga jawa timur. Tetapi dalam penggunaan jawakarta, tidak semuanya menggunakan gue-lo, terkadang masih menggunakan aku-kamu dalam mencampur bahasanya.
Sebagai generasi Z terus menyesuaikan cara mereka berkomunikasi, perubahan ini mungkin mencerminkan dinamika globalisasi dan pengaruh media sosial. Apakah ini akan menjadi suatu bentuk inovasi ataukah akan menghilangkan keunikan budaya lokal, hanya waktu yang akan memberikan jawaban.
Wong Jawa kok ra Njawani?
Seketika saya mengingat kejadian adanya fenomena jawakarta. Ketika itu liburan semester saya pergi ke Semarang untuk menemui teman SMA. Pada awalnnya semua masih terasa normal mendengar teman saya berbahasa jawa dengan logat medhoknya.
Namun, ada satu waktu dimana mereka menggunakan gue-lo saat bercerita tentang perkuliahannya. “Ghue waktu itu nek ikut kepanitiaan cuwapeknya gak ngotak ndes.” Kalimat tersebut dilontarkan oleh salah satu teman saya dan itu merupakan salah satu contoh penggunaan gue-lo dalam jawakarta.
Mereka tidak setiap waktu menggunakan jawakarta dalam obrolan. Sekali dua kali mendengarkan mereka menggunakan gue-lo di Semarang masih terasa kocaknya, karena logat medhok mereka tidak hilang saat mengucapkan kata itu. Sampai-sampai saya merasa sedikit risau seolah menggunakan gue-lo bisa meningkatkan derajat kerennya seseorang. Apakah ini hanya tren sementara ataukah akan berdampak jangka panjang terhadap identitas budaya daerah?
Sejak saat itu, teman-teman saya selalu menggunakan bahasa jawakarta ketika berbincang dengan saya. Seakan mereka menggunakan itu agar bisa berbaur dengan orang Jakarta. Saya tidak masalah ketika mereka menggunakan gue-lo ketika berbincang dengan saya, tapi yang saya khawatirkan adalah bahasa ibu mereka sedikit demi sedikit terlupakan.
Bapak saya pernah berkata, “Wong Jawa kuwi kudu Njawani,” yang berarti bahwa orang Jawa seharusnya hidup dengan menjunjung tinggi ajaran leluhur mereka. Pertanyaan muncul, mengapa malu menjadi Jawa? Mengapa harus meniru gaya berkomunikasi dari Jakarta? Menjadi manusia modern seharusnya tidak mengharuskan kita meninggalkan jati diri dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur.
Saat ini, budaya Jawa menghadapi ancaman erosi, terutama di tengah pengaruh Jakartasentrisme yang semakin merajalela. Fenomena ini sejalan dengan teori William F. Ogburn tentang perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan kebudayaan. Ancaman terhadap keberlanjutan budaya Jawa muncul karena banyak anak muda yang belum mampu mempertahankan nilai-nilai dan tradisi mereka.
Jakartasentrisme, yang mencerminkan dominasi budaya Jakarta, tampaknya berperan dalam pergeseran gaya berbicara anak muda. Media, sebagai salah satu agen sosialisasi utama, turut memperkuat tren ini dengan mengedepankan gaya bahasa Gue-Elu sebagai sesuatu yang keren dan terkini. Ini mengakibatkan tumbuhnya gengsi pada mereka yang masih menggunakan aku-kamu, sehingga mungkin dianggap kurang gaul.
Dalam perubahan dinamika komunikasi ini, penting bagi kita untuk tidak hanya merayakan inovasi tetapi juga menjaga dan menghargai keberagaman bahasa dan budaya di seluruh nusantara. Mempertahankan kekayaan budaya lokal sambil tetap terbuka terhadap perkembangan zaman adalah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap generasi, termasuk generasi Z di Jawa Tengah.
Meleburnya suatu budaya bahasa
Perubahan sosial, terutama yang dipandang dari sudut pandang teori fungsional, seringkali dihubungkan dengan potensi konflik yang dapat mengganggu harmoni masyarakat. Era digital yang kita alami saat ini menjadi saksi perubahan dramatis dalam gaya hidup dan pola pikir masyarakat. Perkembangan teknologi, terutama melalui smartphone yang tak pernah lepas dari genggaman, menjadi salah satu pendorong utama perubahan ini.
Teknologi telah menciptakan akses mudah terhadap informasi, mengubah cara kita mencari pengetahuan, dan memberikan dampak signifikan pada interaksi sosial. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat fenomena yang patut diperhatikan, yaitu meleburnya suatu budaya bahasa akibat pengaruh globalisasi. Pembatasan wilayah dan waktu semakin terhapus, memungkinkan masyarakat terjebak dalam arus global yang dapat merubah pandangan dan nilai-nilai keseharian mereka.
Salah satu aspek dominan dalam era digital ini adalah jakartasentrisme, yaitu dominasi budaya Jakarta terhadap wilayah lain di Indonesia. Fenomena ini terlihat melalui berbagai tayangan digital yang secara intens mempromosikan gaya hidup dan budaya Jakarta. Melalui internet dan smartphone, masyarakat dapat dengan mudah mengakses berbagai tayangan yang menampilkan kehidupan sehari-hari di Jakarta.
Pengaruh ini tidak hanya menciptakan perubahan dalam gaya hidup, tetapi juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Tayangan-tayangan yang sangat jakartasentrisme secara tidak langsung membentuk persepsi dan pola pikir kita. Bagi sebagian orang, hal ini dapat menjadi inspirasi positif untuk berinovasi dan berkembang. Namun, bagi yang lain, terdapat risiko besar meleburnya budaya bahasa asli mereka.
Dengan mudahnya akses terhadap tayangan yang cenderung jakartasentrisme, masyarakat terkadang tanpa sadar mulai meniru atau mengadopsi gaya hidup dan bahasa yang tidak sesuai dengan budaya asli mereka. Hal ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat, terutama jika adopsi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang lebih “modern” atau “tren.” Konflik internal pun mungkin muncul, terutama bagi mereka yang berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai budaya mereka.
Meskipun perubahan teknologi membawa banyak aspek positif seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan keterbukaan terhadap dunia, tetapi penting untuk senantiasa menjaga identitas budaya dan bahasa. Masyarakat perlu memilah dengan bijak konten digital yang mereka konsumsi, mempertahankan keunikan dan kearifan lokal, sambil tetap terbuka terhadap kemajuan yang membawa dampak positif. Hanya dengan keseimbangan yang baik antara perubahan dan pelestarian, kita dapat menghindari meleburnya suatu budaya bahasa dan memastikan kelangsungan harmoni di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Komentar